Novel Burlian serial anak-anak Mamak memiliki judul baru, yaitu Si Anak Spesial. Novel ini merupakan novel anak. Isinya tentang Burlian si anak kampung terpencil di kaki Bukit Barisan, Sumatra. Sumatra juga menjadi tempat tinggal penulis waktu kecil. Kepencilan kampung Burlian dapat dilihat dari akses jalan, mandi di sungai, mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani, selimut kumal, sekolah kurang memadai, guru sedikit, bahkan masih ada yang honorer berpuluh tahun, saat kelas V ada yang putus sekolah, dll. Bagi yang ingin mengetahui lebih lengkapnya, simak resensi berikut ini.
A. Identitas Buku
Judul : Burlian
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika Penerbit (PT Pustaka Abdi Bangsa)
Kota terbit : Jakarta
Tahun terbit : 2017 (cetakan ke-17)
Tebal : 348 hlm. (isi: 338 hlm.)
Ukuran : 13,5 Ă— 20,5 cm
Warna kertas : Krem
B. Blurb
C. Daftar Isi
D. Unsur-Unsur Intrinsik
Subgenre : Anak-anak
Tema : Petualangan, Perjuangan, Keluarga, Kampung Terpencil, Sekolah
Tokoh-tokohnya :
1. Burlian: 7 tahun, akrab dengan Pukat
2. Ibu Burlian: berteladan, galak
3. Pukat: kakak Burlian, 8 tahun
4. Ayuk Eli: kakak Burlian, 9 tahun, pandai memasak
5. Amelia: adik Burlian, 5 tahun, sering sakit
6. Ayah Burlian: bijak, anak bungsu, anak kesayangan ibunya, mantan kepala kampung
7. Pak Bin: guru Burlian, berwawasan luas, guru honorer selama 25 tahun
8. Lik Lan: kepala stasiun
9. Ahmad: punya ibu dan adik, ayahnya pergi, anak yang punya dunianya sendiri, teman Burlian, jago main bola
10. Bakwo Dar: saudara ayah Burlian, punya kebun durian
11. Nenek Burlian: alm., memaksa anak-anaknya sekolah
12. Wak Yati: kakak tertua ayah Burlian, bijak
13. Wak Lihan: mata duitan
14. Mang Dullah: kepala kampung
15. Can: anak Bakwo Dar
16. Munjib: korban putus sekolah
17. Haji Sohar: calon kepala kampung
Setting tempat: kaki Bukit Barisan, Tokyo
POV : POV 1
E. Kutipan Buku
"Ini kampung kita. Hutan ini juga hutan leluhur kita. Kitalah yang harusnya memilikinya, bukan orang-orang kaya dari kota. Sekarang mereka mencari minyak tanah, besok lusa mereka menebangi hutan untuk dijadikan kebun kelapa sawit, sampai habis seluruh hutan, sampai kita mencari sepotong kayu bakar saja tidak bisa lagi, apalagi berburu ayam liar, mengambil rotan, rebung, dan sebagainya." ~ ayah Burlian (hlm. 11)
"Anak-anak penduduk kampung secara alamiah memiliki daya tahan sendiri di lingkungan mereka dibesarkan." (hlm. 14)
"Anak-anak kampung secara alamiah tahu banyak tentang nama tumbuhan." (hlm. 29)
F. Sampel Cerita
G. Sinopsis
Seorang ibu menceritakan kisah Burlian ketika masih dalam kandungan kepada anak-anaknya; Burlian (7 tahun), Ayuk Eli (9 tahun), Pukat (8 tahun), dan Amelia (5 tahun). Saat itu terdengar lenguhan burung gagak di pohon besar yang ada di kuburan belakang rumah mereka. Saat burung gagak tadi dilempari kayu bakar yang membara oleh ibu mereka, suasana menjadi lebih mencekam, sampai empat anak bersaudara itu yang hendak tidur tidak mau lampu canting-nya dimatikan.
Saat pelajaran tengah berlangsung, terdengar suara ledakan besar bom. Lalu, Pak Bin menjelaskan tentang perut bumi kepada Burlian dkk. Seminggu lalu, Burlian dan ayahnya melihat rombongan eksplorasi geologis yang menyelidiki minyak di hutan dekat kampung mereka di kaki Bukit Barisan. Kemudian, Burlian teringat kata-kata ayahnya saat rapat kampung tentang ketidaksetujuannya terhadap eksplorasi tersebut.
Sepulang sekolah, Burlian dan Pukat pergi ke lokasi pengebom. Baru saja tiba, keduanya diusir dengan galak. Ketika berpapasan dengan beberapa teman, Burlian menyarankan mereka untuk bergegas karena para pengebom membagikan sesuatu yang menarik.
Hari ini Burlian dan Pukat pulang cepat dan mengancam Amelia jika melapor pada ibu mereka. Amelia ingin ikut, tetapi kedua kakaknya itu tidak mengizinkan. Burlian dan Pukat akhirnya bisa pulang sebelum orang tua mereka pulang. Paginya, ibu mereka meminta mereka membantunya mengambil kayu bakar. Padahal sebelumnya saat mereka malas sekolah, ibu mereka melotot.
Setelah memasukkan kayu bakar ke keranjang, ibu Burlian meminta Burlian dan Pukat menambah kayu bakar. Kedua anak itu bolak-balik dari rumah ke kebun. Burlian sempat jatuh dan pincang, tetapi Mamak melotot. Pada pukul dua, mereka baru makan, bahkan hanya makan nasi (tanpa apa pun). Kemudian, mereka diminta mencari kayu bakar lagi. Burlian sempat terjatuh lagi hingga betisnya lebam. Dia dan Pukat juga sempat saling menyalahkan. Setelah selesai, ayah mereka tersenyum. Burlian lelah, bahkan untuk menginterogasi Amelia dan marah karena belalangnya kabur. Paginya, dia tidak mau ke kebun, memilih sekolah.
Tiga hari kemudian, Burlian dan Pukat ikut ayah mereka ke kebun di kampung lain walaupun badan mereka masih sakit. Pohon-pohon kopi di sana tidak diurus. Hari ini ayah Burlian meminta anak-anak laki-lakinya menanam pohon sengon di kebun mereka berdua mulai saat itu.
Saat suara kereta terdengar, Burlian dan Pukat mengintip. Sebelumnya mereka mengikat paku besar di rel agar dapat membuat pisau seperti pisau ayah mereka. Setelah kereta lewat dan mereka hendak mengambil pisau mereka, dua petugas meminta mereka ke stasiun. Setelah mereka pergi, Lik Lan (kepala stasiun) berbicara dengan mereka, lalu mengunci mereka. Pada pukul delapan malam, Ayuk Eli dan Amelia menyampaikan pesan ayah keempatnya bahwa Burlian dan Pukat harus mengurus sendiri masalahnya. Lalu, Burlian dan Pukat saling menyalahkan. Esoknya, setelah pulang, ayah mereka bercerita tentang pisaunya.
Saat diminta mengantar rambutan ke tetangga oleh ibunya, Burlian bertemu ibu Ahmad dan anaknya, teman sekelasnya. Sejak itu dia tahu alasan Ahmad tampak memiliki dunianya sendiri. Keesokannya, Burlian bertengkar dengan empat murid kelas lima karena menghina Ahmad. Pak Bin melerai dan meminta Burlian ke ruang guru. Sepulang sekolah, ayah Burlian tidak memarahi anaknya saat tahu kabar itu. Saat ibu Ahmad bekerja dan anaknya menjaga adiknya yang demam, Burlian membujuknya bermain bola. Ternyata Ahmad jago bermain bola. Sejak itu penilaian warga terhadapnya berubah. Burlian baru tahu bahaa ibu Ahmad kalau marah, seperti beruang.
Pada tahun kelahiran Burlian, ayah Burlian membeli TV hitam putih. Di kampung, hanya beliau yang memilikinya. Beliau meletakkannya di depan rumah agar orang lain dapat menikmatinya. Saat pertandingan tinju Muhammad Ali, dua orang saling bertaruh. Beberapa minggu kemudian, TVRI menayangkan piala dunia. Sejak itu Ahmad makin populer.
Suatu hari Camat dan Kepala Kampung mengadakan lomba. Saat pertandingan final sepak bola tingkat kampung, Burlian, Ahmad, dan empat orang lainnya menang, sehingga berhak mewakili kampung ke pertandingan sepak bola tingkat kecamatan. Pak Bin yang menjadi pelatihnya. Saat latihan, bola terlempar ke semak-semak liar. Burlian dan Ahmad yang mengambil bolanya. Awalnya Burlian ingin mengambilnya, tetapi kemudian Ahmad menawarkan diri. Tiba-tiba Ahmad jatuh dengan kulit membiru dan mulut mengeluarkan busa putih. Esoknya, tim sepak bola Burlian dan warga ke tempat pertandingan bola tingkat kecamatan. Namun, akhirnya mereka tidak bertanding. Saat menonton piala dunia dan negara yang warga dukung menang, mereka tidak bersorak.
Suatu hari pada hari Minggu di musim penghujan Bakwo Dar mengajak Burlian ke hutan durian. Saat makan, beliau berpesan kepada Burlian untuk tidak melupakan asalnya jika besok menjadi orang hebat. Akhirnya ada durian yang jatuh. Saat mereka makan durian, Bakwo Dar mengatakan bahwa sekolah itu penting dan akan selalu penting. Lalu, beliau menceritakan kesalahan terbesar ayah Burlian. Saat itu Bakwo Dar dan ayah Burlian dipaksa sekolah oleh ibunya. Namun, akhirnya hanya bertahan sampai kelas tiga Sekolah Rakyat. Saat mereka berusia 16 tahun, mereka merantau ke Kota Provinsi. Setelah berbulan-bulan menganggur, mereka jadi petugas lokomotif kereta api. Tiga tahun kemudian, ibu mereka mengatakan kepada warga bahwa mereka akan diangkat jadi kepala stasiun. Namun, yang ada adalah kemunculan teknologi kereta baru, sampai kereta uap dan petugasnya apkir. Setelah dipanggil kepala stasiun oleh tetangga, Bakwo Dar dan ayah Burlian tidak mau pulang. Lik Lan yang menjadi kepala stasiun hanya tertunduk.
Lalu, Bakwo Dar dan ayah Burlian jadi kuli bangunan. Setiap setengah tahun pimpinan proyek memberikan kesempatan kepada tenaga kasarnya yang memiliki ijazah untuk ikut seleksi menjadi mandor. Jauh hari sebelum uji coba penerbangan, tenaga kasar tidak dibutuhkan lagi, kecuali beberapa orang, tidak termasuk Bakwo Dar dan ayah Burlian. Dua orang bersaudara itu pun serabutan menjadi kuli bangunan.
Suatu hari Bapak mulai frustasi. Saat ada kesempatan mendapat pekerjaan yang lebih baik setelah bertahun-tahun menjadi kuli, Bakwo Dar dan ayah Burlian diusir. Saat mereka berusia 25 tahun, Bakwo mengajak ayah Burlian menjadi petani di kampung. Namun, ayah Burlian menolak. Dua tahun kemudian, mereka menjadi buruh kasar di kilang minyak. Di sana ayah Burlian belajar banyak hal secara otodidak, hingga beberapa insinyur terkesan padanya. Beberapa bulan kemudian, beliau diangkat menjadi mandor.
Setelah terjadi kebakaran hebat, aturan diubah. Ayah Burlian memilih berhenti kerja daripada diturunkan jabatannya, lalu menjadi pendiam. Ibunya mulai sakit-sakitan. Namun, ayah Burlian yang menjelang tiga puluh tahun tidak mau pulang. Beberapa bulan kemudian, beliau dan Bakwo Dar mendaftar sebagai calon pelaut. Saat tinggal satu tes lagi, ibu mereka sakit keras dan meminta ayah Burlian pulang. Namun, yang pulang hanya Bakwo Dar, sedangkan ayah Burlian lanjut tes. Akhirnya ibu mereka meninggal dan Bapak gagal tes. Bakwo Dar baru tahu kabar kegagalan saudaranya itu setelah berbulan-bulan. Sejak itu ayah Burlian menyesal sulit diminta sekolah oleh ibunya.
Empat donatur berkumpul di suatu tempat. Mereka menanti nomor undian yang beruntung minggu ini lewat radio. Tebakan Samsurat sebulan ini hampir benar, hingga reputasinya terdengar ke Kota Kecamatan. Warga di kampung tempat tinggal Burlian kecewa karena satu angka yang mereka tebak salah. SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) sudah ada di Kota Kecamatan. Jika ingin pasang, mereka perlu pergi ke loket yang ada di sana. Wak Yati (kakak tertua Bapak) memberi tahu Burlian bahwa SDSB itu judi. Beliau juga menjelaskan tentang judi dan menceritakan olok-olok yang menggelikan tentang tabiat buruk judi.
Seminggu kemudian, Wak Lihan menyewakan bagian bawah rumah panggungnya untuk dijadikan loket SDSB. Minggu ini Samsurat belum memberikan nomor tebakan, padahal besok sore loket tutup. Burlian, Munjib, Can, dan anak kampung lain juga ikut memasang, tetapi secara diam-diam. Saat pulang dari mengaji bersama anak-anak lain, Burlian menghampiri orang-orang yang mengerumuni Samsurat. Sejak Samsurat menceracau beberapa angka, angkanya sama dengan yang disebutkan dalam pengumuman SDSB, lalu dia jadi orang penting. Sekarang, tiba-tiba Samsurat menunjuknya dan memintanya berbalik, lalu berteriak ketakutan sambil lari pulang.
Keesokannya, orang-orang bertanya tanggal dan bulan lahir Burlian kepada orangnya. Kata teman Burlian, semua mengatakan itu nomor bertuahnya. Sepanjang perjalanan pulang, Burlian seperti tahu nomor bertuahnya, tetapi berbeda dengan orang-orang. Beruntung dia bisa pasang nomor sebelum loket tutup. Namun, rahasianya terbongkar, termasuk rahasia mencuri uang. Ibunya tidak rida, lalu mengajak warga menyerbu loket SDSB. Beliau meminta petugas SDSB menutup loket, lalu memarahi Wak Lihan. Para ibu mendukungnya.
Mang Dullah, kepala kampung, mencoba bicara dengan ibu Burlian. Saat pengumuman SDSB, mereka berdua masih bertengkar. Setelah pengumuman, nomor yang dipasang warga terbalik, kecuali Burlian, tetapi kertasnya telanjur dirobek ibunya.
Setelah rapat kampung, suara terbanyak adalah loket SDSB tetap dibuka. Walau Samsurat berhenti meracau, loketnya masih tetap ramai. Loket baru tutup saat demontrasi besar-besaran di banyak kota setelah bertahun-tahun kemudian.
Setelah mengenal senapan angin dan menemukannya di gudang, ibu Burlian melarang anak-anak laki-lakinya menyentuh benda tersebut. Tahun ini peserta lomba menembak tiga kali lipat dari tahun lalu. Amelia ingin ayahnya ikut lomba itu, agar dirinya punya sapi. Sayangnya, ayahnya tidak bisa menembak dan tidak akan menembak lagi. Padahal permintaan Amelia sebelumnya selalu terpenuhi. Selain menolak, pada hari H lomba, ayah Burlian juga tidak menonton lombanya dan melarang kedua anak laki-lakinya menonton.
Can (anak Bakwo Dar) mengajak Burlian dan Pukat menangkap bengkarung dengan senapan angin. Setelah tidak dapat bengkarung, mereka mencari ikan di lubuk terlarang. Ada pohon tumbang di sana. Setelah Burlian berhasil menembak ikan, dia dan Pukat ingin mengambilnya. Hanya kurang 1 cm lagi, seekor buaya memakan ikan tersebut. Can lari dan tidak peduli dengan senapan ayahnya yang jatuh ke sungai. Saat Burlian dan Pukat menyusul, Burlian terpeleset dan kakinya terperosok di celah dahan. Makin ditarik makin terjepit. Padahal buaya itu akan menerkamnya.
Oleh karena tidak bisa menolong adiknya, Pukat meminta tolong dan menangis. Saat tinggal hitungan detik Burlian dimakan buaya, suara tembakan terdengar. Pada tembakan ketiga, buaya itu kembali ke asalnya. Lalu, Burlian pingsan. Saat siuman, dirinya dikelilingi keluarga dekatnya. Mang Unus (adik ibu-Burlian yang tinggal di Kecamatan) menceritakan kepada Burlian bahwa ayah Burlian yang menembak buayanya. Belasan tahun silam ayah Burlian adalah orang nomor 1 sekabupaten dalam urusan menembak. Namun, beliau bersumpah demi Allah tidak akan menembak lagi. Lalu, bertahun-tahun Burlian dan Pukat tidak membicarakan hal itu lagi.
Sepuluh tahun terakhir, menginjak kelas lima, kebanyakan murid berhenti sekolah. Hari pertama tahun ajaran baru pada kelas V, Can izin tidak masuk sekolah, Munjib menyadap karet, dan enam lainnya tidak ada keterangan. Di sekolah hanya ada tiga guru, termasuk kepala sekolah. Pak Bin mengurus tiga kelas. Padahal dia guru honorer dan mempunyai tiga anak. Meski beliau tetap seperti itu selama 25 tahun, dia terus semangat mengajar, membujuk orang tua agar anaknya diluluskan SD, dan berkebun setelah mengajar.
Pada pukul 17.00, Burlian dan Pak Bin ke rumah Munjib. Munjib anak bungsu dari tujuh bersaudara. Semua laki-laki, tetapi hanya dua kakaknya yang masih tinggal di rumah. Kakak-kakak Munjib punya ijazah SD, tetapi akhirnya hanya menjadi petani, sehingga ayah Munjib tidak mau anak bungsunya seperti mereka. Setelah berbicara dengan ayah Munjib, dalam perjalanan, Pak Bin meminta Burlian membujuk Munjib agar menamatkan sekolah dasar, sedangkan dirinya membujuk ayah Munjib. Setelah mandi sambil berenang, Burlian menjelaskan sebuah hal yang didapatkannya dan teman-temannya di sekolah kepada Munjib.
Suatu hari Burlian membantu Pak Bin mengeluarkan buku dari gudang, lalu diminta menawarkan satu buku untuk satu anak yang berhenti sekolah. Beberapa hari kemudian, lima buku dikembalikan. Namun, suatu pagi saat pelajaran masih berlangsung, Munjib datang dengan membawa buku yang sudah terbakar. Dia mau sekolah, tetapi ayahnya tidak mengizinkan, bahkan sampai memukul dirinya dan membakar buku itu. Tindakannya mengambil buku di perapian membuat satu tangannya terbakar.
Pada siangnya, ayah Munjib ingin memukul anaknya dan Pak Bin, membuat orang berdatangan. Saat rapat kampung, Munjib dapat bantuan dana. Ayahnya juga mengizinkannya melanjutkan sekolah, tetapi dengan banyak syarat.
Sebenarnya Pak Bin sudah banyak mengajukan pengangkatan jadi PNS, tetapi selalu ditolak. Padahal termasuk lulusan pertama SPG di kota. Setelah satu bulan sejak rapat kampung, ayah Burlian meminta Pak Bin mengajukannya lagi karena ada pengangkatan PNS besar-besaran dan tidak ada batas umur. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setelah mendaptar, ada orang yang mendatangi Pak Bin untuk meminta sejumlah uang jika beliau ingin dilloloskan. Oleh karena hal itu, selama dua hari ini Pak Bin tidak mengajar. Kata teman sekelas Burlian, Pak Bin ke kebun. Burlian jadi mengerti bahwa Pak Bin tidak lolos jadi PNS.
Keesokannya, Pak Bin tidak mengajar lagi, membuat Burlian dan Munjib ke rumah beliau. Saat Pak Bin dan istrinya pulang, Pak Bin memutuskan untuk berhenti jadi guru. Mendengar itu, Munjib marah. Keesokannya, Pak Bin ke sekolah, membuat Munjib dkk. bahagia.
Beberapa bulan kemudian, rombongan Korea yang melakukan pembangunan jalan lintas pulau tinggal 5 pal untuk sampai di kampung Burlian. Saat pulang sekolah, Burlian dan Pukat pergi melihat proyek itu. Saat sebuah dozer bergerak menuju Burlian, pengemudinya (Nakamura) menyapa Burlian dan Pukat. Lalu, kepala proyek itu mengajak keduanya menonton pembangunan jalan dari dozer. Sebenarnya manajer dan insinyur perusahaan dari Korea itu rata-rata berasal dari Jepang, sehingga Nazamura tidak bisa mengucapkan "L".
Selama sebulan Burlian menonton proyek itu, dan kini sudah sampai di kampungnya. Setelah mengaji, anak laki-laki itu melihat bintang bersama Nakamura dengan teleskop. Raut wajah Nakamura berubah saat bercerita tentang anaknya, Keiko. Anak perempuannya itu sebaya dengan Burlian dan kelakuannya hampir sama dengan Burlian. Mereka terakhir bertemu dua tahun lalu. Saat Nakamura hendak pergi ke Jakarta, Keiko jadi pendiam, karena tidak mau ayahnya pergi. Sejak bisa menulis, ayah dan anak itu saling berbalas surat. Namun, tidak untuk dua tahun ini.
Dua bulan kemudian, jalan di kampung Burlian selesai. Suatu hari tiba-tiba Nakamura mendatangi rumah Burlian, lalu membacakan surat dari Keiko. Bukan hanya Burlian, tetapi keluarga Burlian juga mendengar surat yang dibaca beliau. Tanpa diketahui siapa-siapa, setelah Nakamura bercerita tentang anaknya, Burlian mengirim surat ke rumah Nakamura untuk Keiko. Pada surat Keiko ke-2, Keiko ingin berkenalan dengan Burlian. Saat jalan sudah dibangun lebih dari 40 pal dari kampung Burlian, Nakamura mengajak Burlian melihat jalan di sekitar lokasi kerja barunya.
Suatu hari ibu Burlian ingkar janji membelikan sepeda saat Burlian sudah khatam Al-Qur'an. Burlian marah, walau uangnya digunakan untuk berobat anak Wak Lihan. Ketika ayah Burlian menemani Burlian tidur di luar, beliau bercerita tentang ibu yang melihat dahan sarang lebah jatuh di dekat kebun. Ibu itu panik, lalu menutup jendela dangau untuk melindungi kedua anaknya. Kemudian, beliau mencari satu anaknya yang masih berumur 3 tahun. Setelah ketemu, para lebah ingin menyerang mereka. Si ibu pun rela menjadi tameng bagi anaknya. Burlian menangis saat tahu bahwa si ibu itu adalah ibunya, sedangkan si anak 3 tahun adalah dirinya. Esok sorenya, Burlian senang karena dibelikan sepeda oleh ibunya.
Enam bulan lalu, Ayuk Eli menjadi murid SMP di Kabupaten, karena di Kampung dan Kecamatan tidak ada sekolah SMP, sehingga tugasnya digantikan Burlian dan Pukat menggantikan tugas Ayuk Eli. Sementara itu, Pak Bin menambah jam pelajaran di kelas Burlian. Saat Burlian protes dengan pekerjaan rumahnya kepada ibunya, pada hari lusa dia dan Pukat ditinggal pergi tanpa ada makanan.
Panen kopi kali ini Ayuk Eli tengah libur semester. Saat buang air pada malam hari, Burlian mendengar ibunya menangis karena kehilangan benda berharga. Keesokannya setelah syukuran, Ayuk Eli memberi tahu Burlian bahwa ibu mereka menangis karena cincin nikah ibu mereka hilang saat ditebus. Sebelumnya, cincin digadaikan untuk menepati janjinya pada Burlian.
Situasi politik di kampung Burlian memanas. Haji Sohar menjadi satu-satunya orang yang mendaftar jadi calon kepala kampung. Orang tuanya pernah tinggal di kampung Burlian, tetapi setelahnya pindah ke Kota Provinsi dan jadi orang sukses. Kini salah satu anak mereka pulang. Sebelum Mang Dullah, ayah Burlian menang, padahal calon kepala kampung 2 yang sudah berkuasa selama 24 tahun. Padahal calon kepala kampung 2 sudah mengorbankan banyak hartanya kepada warga. Sejak ayah Burlian terpilih, fungsi pemerintahan banyak dikembalikan ke kampung.
Oleh karena hanya Haji Sohar yang mendaftar, Burlian bertanya kepada Pak Bin, Bakwo Dar, Mang Unus, Wak Yati, ibunya, dan Wak Lihan tentang alasan mereka tidak mencalonkan diri menjadi kepala kampung. Entah karena apa, Wak Lihan mendukung penuh Haji Sohar, padahal saat kampanye terlihat sombong. Pembicaraan pun beralih ke Wak Lihan. Anehnya juga, Bapak setuju dengan tindakan Wak Lihan, walau tidak suka dengan Haji Sohar.
Keesokannya, Burlian dan seorang teman sekelasnya pulang karena hujan. Mereka melihat Wak Lihan di rumah Burlian dengan wajah kesal. Ayah Burlian memberi tahu Burlian tentang alasan Wak Lihan kesal, yaitu beliau akan meminta tetangganya mendukung Haji Sohar dengan syarat Haji Sohar harus mendengarkan nasihat-nasihat warga. Sebenarnya Haji Sohar juga ke rumah Burlian. Namun, dia langsung pulang karena tersinggung atas ketidaksukaan ayah Burlian terhadap tindakannya. Saat Burlian bingung mengapa ayahnya memilih Haji Sohar, ayahnya memberi tahu bahwa orang itu masih punya nurani.
Saat orang-orang akan mencoblos dengan disaksikan petugas dari Kecamatan, sekolah Burlian ambruk. Orang-orang berlarian ke sana, sedangkan murid-murid menangis dan meminta tolong. Saat murid-murid ingin memasuki kelas, sekolah roboh. Juni dan Juli sakit, sehingga tidak ikut upacara dan berada di ruang guru. Mereka meninggal atas tragedi itu. Burlian yang paling dekat dengan gedung, kepalanya berdarah. Dia dan empat murid lain dibawa ke rumah sakit Kabupaten.
Kepala Burlian diperban, kecuali mata dan hidung, dan tubuhnya diinfus. Inspeksi dan kunjungan pejabat dari kota berebut menunjukkan empati. Seorang menteri laki-laki mengatakan kepada media bahwa pemerintah akan mengganti seluruh bangunan tua sekolah di hadapan Burlian. Beliau berjanji akan memenuhi semua permintaan Burlian. Lalu, Burlian mengatakan bahwa dirinya ingin sekolahnya dibangun lagi dengan perpustakaaan, peralatan sekolah, lapangan olahraga, seragam, beasiswa untuk seluruh murid, motor untuk guru-guru, dan ... akhirnya Burlian hanya boleh menyebutkan satu permintaan lagi. Setelah berpikir, dia ingin Pak Bin diangkat jadi PNS.
Sebelum sekolah dibangun, murid-murid belajar di tenda. Pemilihan kepala kampun ditunda selama seminggu. Meskipun Haji Sohar kalah dengan kotak kosong, beliau masih semangat berkampanye. Untuk pemilihan kepala kampung gelombang II, Bujuk mencalonkan diri sebagai kepala kampung 2. Kemenangannya membuatnya jadi kepala kampung termuda. Untuk Haji Sohar, beliau balik dari kampung Burlian.
Tiga bulan kemudian, bertepatan dengan musim kemarau, Burlian, Pukat, dan Mang Unus mencari "burung mandi" di hutan. Sesampainya di sungai, mereka memasang jebakan. Setelah jebakan terpasang, mereka melewati "sungai larangan". Konon di tempat itu ada "orang-orang hunian". Orang yang melanggar peraturan akan sakit berkepanjangan atau tidak bisa pulang. Namun, sebenarnya itu salah. Kini, Mang Unus memberi tahu rahasianya kepada Burlian dan Pukat.
Saat sebuah mobil menurunkan kardus-kardus di sekolah Burlian, Pak Bin kesulitan mengendalikan murid-muridnya yang berlarian mengerubungi kardus-kardus itu. Lalu, tiga pemuda asing mencari Burlian. Mendengar kardus-kardus itu isinya buku, Munjib segera membuka salah satunya. Seminggu sebelum kenaikan kelas, sekolah itu diresmikan. Staf TV hadir dan mewawancarai Burlian yang sibuk melihat bangunan sekolah barunya. Meskipun sudah resmi, ulangan umum dilakukan di tenda.
Sekarang, Burlian sudah tiga bulan di gedung baru kelas enam. Hari ini dia sudah selesai membaca semua buku di perpustakaan. Surat terakhir dari Nakamura enam bulan lalu isinya tentang proyeknya yang sudah selesai setahun. Kata ibu Burlian, Burlian akan melanjutkan sekolah di SMP Kabupaten seperti Ayuk Eli dan Pukat. Saat Ayuk Eli dan Pukat pulang, keluarga Burlian membahas ABRI masuk desa (AMD). Saat Ayuk Eli ingin bertanya tentang rahasia putri mandi, ibunya melarangnya pacaran. Lalu, seorang pemburu meminta air untuk temannya yang patah kaki. Burlian, Pukat, Amelia, dan ayah mereka ditunjukkan hasil perburuan para pemburu itu. Kepala rusa!
Menjelang catur wulan tiga, program AMD di Kampung Paduraksa dimulai. Seluruh sekolah di Kecamatan diintruksikan mengirim murid untuk ikut bumi perkemahan. Di sekolah Burlian, Pak Bin membentuk "gugus depan". Anggotanya ada Burlian, Munjib, dan Can. Pada hari kedua bumi perkemahan, Can memberi tahu dua temannya itu bahwa dirinya ingin menjadi tentara. Selain perwakilan murid, di program itu ada pemuda karang taruna, organisasi kepemudaan lainnya, dan sukarelawan.
Keesokannya, Sersan Sergio meminta Burlian dan 19 murid SD lainnya memindahkan batu-batu besar dari sungai ke area yang akan dibangun. Hampir ratusan orang memindahkan batu untuk jalan sepanjang 1 pal. Can menghitung batunya hingga lelah dan istirahat. Burlian yang ada di sebelahnya meletakkan batunya di tanah, sedangkan orang di sebelah Can mengikuti Can. Saat seseorang menagih batu, Can bilang istirahat dahulu. Namun, orang lain jadi salah paham. Selama satu jam orang-orang mengharapkan makan siang dari tentara (yang sebenarnya tidak ada). Setelah kabar itu terdengar sampai ke telinga tentara, Burlian diomeli mereka.
Malamnya, saat beranjak tidur, Burlian, Munjib, dan Can menuju tenda dapur umum yang tercium bau gulai. Lalu, Sersan Sergio menawarkan makanan itu. Setelah makan, mereka melihat simpai yang diikat. Lalu, Sersan Sergio bilang bahwa tadi beliau berbohong; makanan tadi bukan gulai ayam hutan, tetapi simpai.
Saat program ABRI kurang dua hari, tentara akan mengadakan lomba lari 10 pal di jalan yang dibangun. Can ingin ikut lomba itu. Siang ini bagian mereka memasak, tetapi bahan makanannya hanya beras dan mi. Lalu, mereka memikirkan bagaimana cara agar mereka menang lomba lari. Beberapa jam kemudian, mereka teringat menu makan siang. Can mengusulkan untuk mencari ayam hutan. Burlian setuju, sedangkan Munjib terpaksa.
Saat mengejar ayam hutan, Burlian, Can, dan Munjib tanpa sadar memasuki hutan liar. Setelah istirahat, mereka melanjutkan perjuangan mencari ayam, hingga hampir enam jam mereka tersesat. Lalu, Munjib dan Can bertengkar dengan pantun. Saat mencoba mencari pertolongan dengan berteriak yang dilakukan oleh Can, Burlian memanjat pohon sampai ke puncaknya. Lalu, dia menemukan lokasi bumi perkemahan. Tiga jam kemudian, Pak Bin memarahi mereka.
Keesokannya, Burlian, Munjib, dan Can mendapat nomor lari 500-an. Oleh karena ada peserta yang merupakan atlet, hadiah ditambah uang jutaan. Keesokannya, lari dimulai. Setelah orang dewasa mengalahkan trio murid ini, Burlian mengajak Munjib dan Can ke hutan. Akhirnya, mereka menang. Tiga bulan lagi mereka akan melaksanakan ujian kelulusan.
Seminggu sebelum ujian kelulusan, dan Munjib berencana melanjutkan sekolah di SMP Kabupaten. Setelah bermimpi buruk, Burlian mendengar lenguhan nyaring dari burung gagak di kuburan belakang rumahnya. Keesokan, saat makan, ayahnya bercerita bahwa kemarin malam ada petugas koramil yang memberi tahu bahwa ada "bajing loncat" yang melarikan diri dari tahanan dan meminta orang-orang yang rapat untuk melapor jika melihat sesuatu yang ganjil. Lalu, Burlian bercerita tentang kejadian semalam. Ibunya mengatakan bahwa itu burung biasa, sedangkan ayahnya tidak percaya.
Saat pelajaran, Burlian menceritakan hal yang didengarnya semalam kepada Munjib dan Can. Pada jam setengah sepuluh malam, dia mendengar suara itu lagi. Namun, saat ibunya, ayahnya, dan Bakwo Dar menemuinya, suara itu lenyap. Keesokannya, Burlian memberi tahu kepada orang tuanya tentang SMP keinginannya, yaitu memiliki banyak buku, guru-guru seperti Pak Bin, menaiki kapal, melihat gedung tinggi, dan melihat bandara.
Malamnya, Burlian, Munjib, dan Can ke kuburan belakang rumah Burlian walau hujan. Mereka melihat nisan Ahmad, Juni, dan Juli. Dengan jarak 10 m dari pohon raksasa, suara lenguhan nyaring burung gagak terdengar. Lalu, dari balik pohon itu muncul sosok tinggi, besar, dan mengerikan. Sosok itu membanting Can ke batu kuburan. Munjib melawan sosok manusia itu yang berusaha memukulnya. Lalu, Burlian berusaha menolongnya. Setelah tangannya berhasil dipukul, Munjib dicekik. Setelah dia pingsan, Burlian melempar batu ke pohon raksasa. Puluhan burung gagak dan anjing pun mengeluarkan suara masing-masing dengan keras. Sosok besar yang menyadari sesuatu mencoba menghantam Burlian dengan nisan. Burlian menghindar, hingga tidak tahu harus ke mana dan apa. Saat itulah Bakwo Dar menyorotkan senter ke sosok besar itu dan ayahnya mengarahkan senapan angin.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkomentar di unggahan saya.